Selasa, 16 Januari 2018

Surat Untuk Nona

Hai, Nona.

Masih ingat kah awal kita? Saat kau mengiyakan apa yang sama sama kita rasa. Samar-samar aku bisa merasakan detak jantungmu hari itu. Lebih kencang detak jantungku, pastinya.
Nona, saat itu kita sangat bahagia.
Sesederhana mengelilingi bogor dengan sepeda motor usang milik orangtuaku, menjajali kuliner kaki lima yang baru ada setelah magrib, menikmati senja dari jendela helm yang sudah usang, dan mengakhiri hari dengan lambaian tangan di depan pagar hitam rumahmu.
Nona, kalau kau tanya mengapa aku bisa jatuh cinta padamu hari ini, sungguh aku lupa alasannya. Tapi Nona, aku selalu ingat caramu tertawa, menutup mulutmu dengan sebelah tangan sambil menutup sebelah matamu lalu terkekeh.
Nona, mungkin aku jatuh cinta pada tawamu, pada raut mukamu yang sedang marah padaku, pada pukulan yang kau layangkan pada lenganku, pada obsesimu terhadap warna merah muda atau kamu yang seringkali tiba tiba menangis.
Nona, sungguh kehadiranmu membawa suasana menjadi ceria dan penuh tawa, Nona selalu bisa membuatku dan orang-orang terkekeh karna gaya bicaramu.
Maaf Nona, sungguh, aku tidak ingat alasan mencintaimu hari itu, karna aku sudah mencintai segala yang ada padamu, semuanya.

Nona, entah sejak kapan kita bergandeng tangan. Sepakat untul menaiki 100 anak tangga menuju masa depan kita. Entah siapa yang mulai menggenggam tangan. Semoga itu aku.
Nona, rasanya baru kemarin kita berbahagia menaiki anak tangga kesepuluh. Saat ego masing masing kita mulai meracau, saat kau pada akhirnya bisa marah padaku dan bunga dariku masih bisa meredanya.
Nona, aku selalu bahagia bersamamu. Sungguh, sampai detik ini aku tidak menyesal menaiki hampir 100 anak tangga bersamamu.

Nona tau? Aku berjanji untuk tidak melepas tanganmu, apapun yang terjadi. Kecuali hari ini. Karna Nona yang melepasnya. Nona memintaku untuk melepasnya.

Nona, kita sudah sampai di anak tangga ke 83. Kau tidak mau duduk sebentar disini? Sambil melihat 82 anak tangga yang sudah kita lalui bersama.
Nona, mengapa kau lepaskan genggamanmu? Bukankah sebentar lagi kita sampai ke puncak?
Nona, apa yang harus kulakukan untuk mengajakmu kembali bergandeng tangan?
Apa aku harus ikut turun bersamamu?

Nona, apa genggamanku kurang kuat? Aku meregangkannya sedikit saja Nona, anak tangga kali ini sungguh sulit, tapi aku enggan melepasmu. Maafkan aku Nona, sungguh aku tidak berniat untuk melepas genggamanmu.

Nona, kenapa kau harus turun lagi sedangkan cahaya matahari sudah mulai menyilaukan darisini? Bukankah kita berjanji melihat puncak menara ini bersama?
Nona, aku akan ikut denganmu. Mari kita turun bersama. Bisakah aku menggenggam tanganmu? Sungguh aku tidak mau kehilanganmu dan semua mimpi kita.

Nona, kenapa kau acuh sekali padaku?

Nona maafkan aku.
Sungguh aku tak bisa turun lebih jauh dari ini Nona, bisakah kita kembali naik? Kita sudah menuruni 30 anak tangga dalam waktu yang amat singkat.
Nona, aku ingin menggenggam tanganmu lagi. Jika kau lelah kita bisa berhenti sejenak, bersama, dan Nona tetap disini, menjabat jemariku.
Nona, aku berjanji kali ini akan lebih kuat. Jika Nona berkenan, aku bisa menggendongmu naik ke atas sana Nona. Asal bersamamu.

Nona, kenapa kau masih menuruni anak tangga ini tanpaku?
Nona, aku mohon berhenti disitu, jangan pernah sejauh ini denganku. Aku butuh kau, Nona. Sungguh. Nona bukanlah pelengkap lagi untukku. Nona bagian dariku.
Ah Nona, aku sungguh lelah memanggil namamu dari tangga ke 53 ini. Aku masih bisa melihat punggungmu di anak tangga ke 21. Apakah kau enggan berbalik? Apa kau benar-benar tidak mau kembali? Aku ingin sekali melihat wajahmu. Nona, jika kau benar benar ingin turun kesana sendirian, bisakah lihat aku sebentar? Aku butuh senyummu.
Ah mungkin aku lebih senang melihatmu menekuk mulutmu, mengisyaratkan untuk ku jemput kebawah sana lalu tersenyum.


Nona, aku tidak bisa melihatmu lagi. Nona sudah turun terlalu jauh dan aku masih disini, enggan meninggalkan menara mimpi kita.
Nona, hari ini aku melihat ke atas sejenak, aku sungguh tidak bisa naik kesana sendirian dan aku tidak mau naik kesana selain denganmu. Nona, untukku diatas sana masih secantik hari itu, saat kita berdua membayangkan dan memimpikannya.
Nona, apa kau lupa? Sungguh kenangan di setiap anak tangga ini melemahkanku.  5 bulan tanpamu sungguh terasa asing. Aku seperti bukan aku. Aku kehilangan hampir segalanya sejak kamu memutuskan menuruni tangga ini. Nona, apa kau merasakan hal yang sama? Nona, apa kau sama sekali tidak memikirkanku? Kalaupun aku sampai ke bawah sana, aku tetap tak bisa menemukan diriku yang lama--- sebelum bersamamu.
Nona, maafkan aku yang berusaha membencimu belakangan ini. Aku sungguh tidak tau bagaimana caranya melupakanmu. Melupakanmu  sungguh lebih melelahkan dibanding menunggumu disini.

Nona, apakah kau masih menungguku dibawah sana? Kalau iya, tunggu akusebentar saja, aku akan menuruni anak tangga ini.
Nona, badanku tak sekurus dulu, nyatanya aku amat bahagia denganmu. Jadi jika nanti kita menaiki tangga ini lagi, kuat kuat ya membopohku.
Aku bercanda, dibawah nanti ku sewa helikopter atau harus ku munculkan jetpack saja? Supaya kita bisa langsung sampai ke atas, supaya Nona tidak turun lagi sendirian, supaya aku kembali menjadi aku yang bahagia.

Tapi Nona, jika Nona sudah tidak menungguku dibawah sana. Aku harus apa ya?
Nona , tunggu aku disana. Jangan berpaling terlalu cepat. Setidaknya sampai luka ini pulih, sampai aku menemukan Nona lagi.



Nona tolong aku,
Jika aku bertemu denganmu lagi, di dunia apapun, dimanapun, kapanpun, izinkan aku jatuh cinta lagi padamu.

With love,



Me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar