Ini mimpi. Pasti.
Dia hanya hendak menjemputku. Kami hanya ingin makan eskrim bersama. Lalu
tiba-tiba ada telepon masuk. Aku tak ingat lagi. Saat aku sadar aku ada di
sebuah ruangan dengan nuansa broken white. Aku tak tahu ini dimana, mataku
masih sulit untuk menangkap cahaya lampu yang ada di atasku. Kepalaku serasa
berputar, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatku terbaring.
Vino! Aku
melonjak dari kasur keras ini. Saat melihat sekelilingku, aku sadar ini rumah
sakit. Kalau ini rumah sakit, Vino pasti disini. Ya, aku berusaha
menyeimbangkan kakiku sambil memegang kepalaku yang sedaritadi pening. Aku
berjalan menyebrangi koridor, mencari orang yang kukenal. Dingin, aku tidak
menggunakan alas kaki, masih berkutat dengan office look yang sudah kusut. Aku
hanya berputar-putar. Vino. Vino. Vino. Hanya itu yang kubayangkan.
Aku mendengar
suara langkah kaki yang menggema dari arah aku berjalan. Wanita separuh baya
itu menyentuh pundakku dan memelukku. Aku tak mau dengar apa-apa. Pikiranku
berubah menjadi sangat negative, membayangkan hal-hal yang tidak aku inginkan
akan segera dilontarkan oleh Bunda. Aku ingin menangis tapi tidak bisa. Sesak
sekali. Kakiku rasanya tak bisa menopang badanku yang mulai gemetar.
Bunda
menggandeng tanganku, dia tidak berkata apa-apa. Tangannya lebih dingin dari
tanganku. Mukanya juga pucat, matanya tampak bengkak. Bahkan, rambutnya yang
biasanya tersanggul rapi sekarang mencuat keluar dari sanggulnya. Dia masih
mengenakan baju tidurnya, hanya dibalut cardigan biru tua kesayangannya.
Langkah kaki
kami terhenti di depan ruang UGD. Aku menemukan Ibu dan Ayah Vino serta Nadila
disana. Tangannya saling menggenggam. Mereka menatapku sendu seakan mengajakku
untuk ikut bergenggaman tangan. Bunda menarikku mendekati mereka dan Ibu Vino
mendekapku. Tangisnya pecah dia berusaha menahan tapi malah mengeluarkan suara
lebih keras. Aku masih terdiam, aku tidak bisa menangis. Tapi hatiku mencelos,
seperti ada yang menarik sebagian darinya keluar.
Dekapannya makin
kencang sampai aku sulit bernapas. Dia kini mengeluarkan suaranya yang parau.
“Vi..no..Vino-nya Mama, Nya.”
Bagian memori
otakku kini memutar semuanya kembali.
***
“Aku lembur
kayaknya, Dut. ga usah jemput, ya,, aku naik taksi aja, key?” aku berbicara
pada Vino lewat ponsel.
“Gak, aku mau
jemput. Susah cari taksi jam segini. Kita ke kedai eskrim ya, ngidam nih aku,
Nya.”
“Yaudah terserah
kamu Ibu hamil, kan jadi enak ya aku dijemput terus diteraktir eskrim hehe”
“Sip, buruan
kelarin ya, Dek itu kerjaan. Aku mandi dulu, sms kalo kamu udah mau pulang.”
“Owkay, Bang” aku
menutup telponnya dan kembali mengecek laporan arus kas bulan ini.
Akhir bulan
memang sibuk-sibuknya bagi pegawai bagian keuanagan sepertiku. Buat laporan ini
itu, mengecek bukti-bukti transaksi yang bukan main banyaknya. Memang sudah
tidak menjurnal di kertas sih, tapi untuk mengecek semuanya masih harus
dilakukan sendiri.
Jam di dinding
menunjukan pukul 9.18 malam. Aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan
singkat ke Vino. Memberi sinyal untuk menjemputku sebentar lagi. Rumahnya tidak
begitu jauh dari kantorku, mungkin hanya 25 menit untuknya sampai kesini,
apalagi sudah jam segini, jalan sudah tidak macet.
Aku menuruni
tangga bersama Silvi, temanku yang juga lembur hari ini. Dia dijemput suaminya
yang rumahnya juga tidak jauh dari kantor. Aku menerima balasan dari Vino yang
membuatku sedikit tersenyum karena isi pesannya. Lalu, aku dan Silvi
berbincang-bincang tentang pekerjaan malam ini. Suara kami memenuhi ruangan,
menciptakan gema yang mengikuti kami.
Sesampainya di
Lobby, kami menemukan suami Silvi dengan kaos santai dan celana jeans selutut
sambil menggenggam kunci mobilnya. Dia tersenyum padaku, aku mengangguk.
Kemudian Silvi menghampirinya dan mencium tangan suaminya. Pengantin baru.
“Gak mau bareng
gue aja, Nya? Udah jam setengah sepuluh lho.” Tanya Silvi padaku.
“Gak usah Sil,
Vino udah berangkat katanya tadi. Makasih, ya”
Silvi mengaitkan
tangannya ke lengan suaminya. “Yaudah, kita tungguin lo ya, Nya sampe Vino
dateng. Gapapa kan, Hon?” suaminya mengangguk tanpa ekspresi keberatan.
Kami mengobrol
sekitar 10 menit sambil duduk di kursi lobby. Suami Silvi membuatku tertawa
setengah mati karena cerita masa kecinya. Tawaku berhenti saat ponselku berdering.
Vindut. Nama itu tertera di layar ponselku. Aku tak mengangkatnya, mungkin dia
hanya memberi tahuku dia sudah ada di depan kantor. Aku mengangkat tas dari
kursi lobby.
“kayaknya Vino
udah di luar deh, Sil.”
“Okay.” Silvi
kemudian menggandeng tangan Suaminya keluar.
Vino tak ada di
depan. Terus, dimana? Aku langsung menghubunginya. Sudah tiga kali aku
menghubunginya tak diangkat. Aku sedikit khawatir, seharusnya dia sudah sampai
dari tadi. Teleponnya yang tadi sengaja tak kuangkat apa maksudnya? Kemudian
ponselku berdering lagi.
Vindut, lagi.
“Kamu dimana, Dut? Kok lama banget?”
“Halo, Mbak.”
Logat jawa, ini bukan Vino, sama sekali bukan.
“Ini, siapa
maaf?” aku mengecek layar ponselku memastikan yang menelponku barusan Vino.
“Mbak, ini lho,
kami lagi di RSUD. mas yang pegang hp ini kecelakaan. Mbak bisa langsung
kesini? Kami hubungin rumahnya gak diangkat, Mbak”
“Hah?”
Semua yang
dikatakan oleh lelaki berlogat Jawa ini, membuatku bingung. Antara percaya tak
percaya. Otakku sulit mencernanya. Suaranya masih terdengar di ponselku “Mbak? Halo? Mbak?” suara disana agak ramai.
Ponselku jatuh. Saat aku mengerti apa yang dikatakan barusan, tubuhku juga
terjatuh.
Lalu aku ada di rumah sakit ini. Masih didekap oleh Ibu Vino yang masih menangis.
***
Aku masih bisa
mendengar suara tangisan Mama Vino dan Nadila menyurut, sepertinya suara mereka
sudah mulai habis. Ayah Vino mondar-mandir di depan pintu UGD sedaritadi. Berusaha
tenang, tapi dia satu-satunya yang tidak terlihat tenang. Aku tidak pernah
melihat Ayah Vino yang seperti ini, dia mengcengkram lengannya kuat-kuat lalu
mengacak-ngacak rambutnya kemudian mengetuk-ngetuk sepatunya, dan berulang lagi
dari prosedur awal. Bunda menggenggam tanganku lagi tapi sekarang berbeda, genggamannya
tak sekuat tadi.
Sesak sekali. Aku
bernapas, tapi rasanya semua udara di rumah sakit ini tidak bisa memenuhi
paru-paruku. Bagaimana bisa aku tidak mengeluarkan setetes air matapun? aku
ingin sekali menangis, tapi entah kenapa yang kulakukan hanya lah membuat
dadaku sakit, tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berbicara. Aku ingin
berteriak. Tapi ada yang mengganjal tenggorokanku seperti ada duri yang
menyangkut disana.
Vino. Vino. Vino.
Hanya itu yang memenuhi pikiranku. Kemudian aku memejamkan mata. Melakukan berbagai
macam perjanjian jika Vino bangun nanti. Aku melepaskan tangan Bunda, aku
berdiri. Kemudian berputar, lalu duduk lagi, berhitung mundur dari angka 100
dengan mata terpejam. Aku tak bisa berhenti melakukan hal itu. Ini sama sekali
tidak membuatku merasa lebih tenang. Setidaknya aku bisa berhenti memikirkan
hal-hal buruk. Gila, begitu mungkin. Aku tak peduli apa yang dilihat orang-orang
di sekitarku. Mungkin dalam hitungan kesatu, dokter keluar dan memberi tahu
bahwa Vino baik-baik saja, harapku.
nyambung ya nanti :3