Rabu, 17 September 2014

Sambil jatuh cinta, aku memikirkanmu

       Ini mimpi. Pasti. Dia hanya hendak menjemputku. Kami hanya ingin makan eskrim bersama. Lalu tiba-tiba ada telepon masuk. Aku tak ingat lagi. Saat aku sadar aku ada di sebuah ruangan dengan nuansa broken white. Aku tak tahu ini dimana, mataku masih sulit untuk menangkap cahaya lampu yang ada di atasku. Kepalaku serasa berputar, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatku terbaring.
        Vino! Aku melonjak dari kasur keras ini. Saat melihat sekelilingku, aku sadar ini rumah sakit. Kalau ini rumah sakit, Vino pasti disini. Ya, aku berusaha menyeimbangkan kakiku sambil memegang kepalaku yang sedaritadi pening. Aku berjalan menyebrangi koridor, mencari orang yang kukenal. Dingin, aku tidak menggunakan alas kaki, masih berkutat dengan office look yang sudah kusut. Aku hanya berputar-putar. Vino. Vino. Vino. Hanya itu yang kubayangkan.
Aku mendengar suara langkah kaki yang menggema dari arah aku berjalan. Wanita separuh baya itu menyentuh pundakku dan memelukku. Aku tak mau dengar apa-apa. Pikiranku berubah menjadi sangat negative, membayangkan hal-hal yang tidak aku inginkan akan segera dilontarkan oleh Bunda. Aku ingin menangis tapi tidak bisa. Sesak sekali. Kakiku rasanya tak bisa menopang badanku yang mulai gemetar.
       Bunda menggandeng tanganku, dia tidak berkata apa-apa. Tangannya lebih dingin dari tanganku. Mukanya juga pucat, matanya tampak bengkak. Bahkan, rambutnya yang biasanya tersanggul rapi sekarang mencuat keluar dari sanggulnya. Dia masih mengenakan baju tidurnya, hanya dibalut cardigan biru tua kesayangannya.
       Langkah kaki kami terhenti di depan ruang UGD. Aku menemukan Ibu dan Ayah Vino serta Nadila disana. Tangannya saling menggenggam. Mereka menatapku sendu seakan mengajakku untuk ikut bergenggaman tangan. Bunda menarikku mendekati mereka dan Ibu Vino mendekapku. Tangisnya pecah dia berusaha menahan tapi malah mengeluarkan suara lebih keras. Aku masih terdiam, aku tidak bisa menangis. Tapi hatiku mencelos, seperti ada yang menarik sebagian darinya keluar.
Dekapannya makin kencang sampai aku sulit bernapas. Dia kini mengeluarkan suaranya yang parau. “Vi..no..Vino-nya Mama, Nya.”
Bagian memori otakku kini memutar semuanya kembali.

***

“Aku lembur kayaknya, Dut. ga usah jemput, ya,, aku naik taksi aja, key?” aku berbicara pada Vino lewat ponsel.
“Gak, aku mau jemput. Susah cari taksi jam segini. Kita ke kedai eskrim ya, ngidam nih aku, Nya.”
“Yaudah terserah kamu Ibu hamil, kan jadi enak ya aku dijemput terus diteraktir eskrim hehe”
“Sip, buruan kelarin ya, Dek itu kerjaan. Aku mandi dulu, sms kalo kamu udah mau pulang.”
“Owkay, Bang” aku menutup telponnya dan kembali mengecek laporan arus kas bulan ini.

       Akhir bulan memang sibuk-sibuknya bagi pegawai bagian keuanagan sepertiku. Buat laporan ini itu, mengecek bukti-bukti transaksi yang bukan main banyaknya. Memang sudah tidak menjurnal di kertas sih, tapi untuk mengecek semuanya masih harus dilakukan sendiri.
Jam di dinding menunjukan pukul 9.18 malam. Aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan singkat ke Vino. Memberi sinyal untuk menjemputku sebentar lagi. Rumahnya tidak begitu jauh dari kantorku, mungkin hanya 25 menit untuknya sampai kesini, apalagi sudah jam segini, jalan sudah tidak macet.
      Aku menuruni tangga bersama Silvi, temanku yang juga lembur hari ini. Dia dijemput suaminya yang rumahnya juga tidak jauh dari kantor. Aku menerima balasan dari Vino yang membuatku sedikit tersenyum karena isi pesannya. Lalu, aku dan Silvi berbincang-bincang tentang pekerjaan malam ini. Suara kami memenuhi ruangan, menciptakan gema yang mengikuti kami.
Sesampainya di Lobby, kami menemukan suami Silvi dengan kaos santai dan celana jeans selutut sambil menggenggam kunci mobilnya. Dia tersenyum padaku, aku mengangguk. Kemudian Silvi menghampirinya dan mencium tangan suaminya. Pengantin baru.

“Gak mau bareng gue aja, Nya? Udah jam setengah sepuluh lho.” Tanya Silvi padaku.
“Gak usah Sil, Vino udah berangkat katanya tadi. Makasih, ya”
Silvi mengaitkan tangannya ke lengan suaminya. “Yaudah, kita tungguin lo ya, Nya sampe Vino dateng. Gapapa kan, Hon?” suaminya mengangguk tanpa ekspresi keberatan.

     Kami mengobrol sekitar 10 menit sambil duduk di kursi lobby. Suami Silvi membuatku tertawa setengah mati karena cerita masa kecinya. Tawaku berhenti saat ponselku berdering. Vindut. Nama itu tertera di layar ponselku. Aku tak mengangkatnya, mungkin dia hanya memberi tahuku dia sudah ada di depan kantor. Aku mengangkat tas dari kursi lobby.

“kayaknya Vino udah di luar deh, Sil.”
“Okay.” Silvi kemudian menggandeng tangan Suaminya keluar.
Vino tak ada di depan. Terus, dimana? Aku langsung menghubunginya. Sudah tiga kali aku menghubunginya tak diangkat. Aku sedikit khawatir, seharusnya dia sudah sampai dari tadi. Teleponnya yang tadi sengaja tak kuangkat apa maksudnya? Kemudian ponselku berdering lagi.
Vindut, lagi. “Kamu dimana, Dut? Kok lama banget?”
“Halo, Mbak.” Logat jawa, ini bukan Vino, sama sekali bukan.
“Ini, siapa maaf?” aku mengecek layar ponselku memastikan yang menelponku barusan Vino.
“Mbak, ini lho, kami lagi di RSUD. mas yang pegang hp ini kecelakaan. Mbak bisa langsung kesini? Kami hubungin rumahnya gak diangkat, Mbak”
“Hah?”

    Semua yang dikatakan oleh lelaki berlogat Jawa ini, membuatku bingung. Antara percaya tak percaya. Otakku sulit mencernanya. Suaranya masih terdengar di ponselku  “Mbak? Halo? Mbak?” suara disana agak ramai. Ponselku jatuh. Saat aku mengerti apa yang dikatakan barusan, tubuhku juga terjatuh.
    Lalu aku ada di rumah sakit ini. Masih didekap oleh Ibu Vino yang masih menangis.

***

     Aku masih bisa mendengar suara tangisan Mama Vino dan Nadila menyurut, sepertinya suara mereka sudah mulai habis. Ayah Vino mondar-mandir di depan pintu UGD sedaritadi. Berusaha tenang, tapi dia satu-satunya yang tidak terlihat tenang. Aku tidak pernah melihat Ayah Vino yang seperti ini, dia mengcengkram lengannya kuat-kuat lalu mengacak-ngacak rambutnya kemudian mengetuk-ngetuk sepatunya, dan berulang lagi dari prosedur awal. Bunda menggenggam tanganku lagi tapi sekarang berbeda, genggamannya tak sekuat tadi.

      Sesak sekali. Aku bernapas, tapi rasanya semua udara di rumah sakit ini tidak bisa memenuhi paru-paruku. Bagaimana bisa aku tidak mengeluarkan setetes air matapun? aku ingin sekali menangis, tapi entah kenapa yang kulakukan hanya lah membuat dadaku sakit, tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berbicara. Aku ingin berteriak. Tapi ada yang mengganjal tenggorokanku seperti ada duri yang menyangkut disana.

       Vino. Vino. Vino. Hanya itu yang memenuhi pikiranku. Kemudian aku memejamkan mata. Melakukan berbagai macam perjanjian jika Vino bangun nanti. Aku melepaskan tangan Bunda, aku berdiri. Kemudian berputar, lalu duduk lagi, berhitung mundur dari angka 100 dengan mata terpejam. Aku tak bisa berhenti melakukan hal itu. Ini sama sekali tidak membuatku merasa lebih tenang. Setidaknya aku bisa berhenti memikirkan hal-hal buruk. Gila, begitu mungkin. Aku tak peduli apa yang dilihat orang-orang di sekitarku. Mungkin dalam hitungan kesatu, dokter keluar dan memberi tahu bahwa Vino baik-baik saja, harapku.

nyambung ya nanti :3